Aroma Bangkai Masa Lalu

Setelah sekian lama terkubur dalam kesibukan yang tak bertepi, kini semuanya seolah bermekaran tiba-tiba. Seperti benih yang tertimbun di tanah keras, perlahan merekah saat tanah itu melunak oleh waktu dan derai harapan. Aku tak pernah menyangka, apa yang selama ini kucari dengan langkah penuh getir kini hadir sendiri—tanpa diminta, tanpa diduga.

Namun, kemunculannya membawa serta bayang-bayang baru, menari-nari di ambang ketidakpastian. Mereka seperti siluet di ujung senja, indah tetapi samar, memanggil dengan nada yang tak jelas. Aku bertanya-tanya, apakah ini jawaban dari doa-doa panjangku, atau sekadar jeda sebelum badai yang lain? Di persimpangan ini, aku berdiri, ragu sekaligus berharap, mencoba membaca takdir di antara alur waktu yang terus berjalan.

Di antara doa yang kupanjatkan, aku hanya mampu memohon: semoga itu kamu. Kamu, yang selama ini tersembunyi di balik tirai masa lalu, yang kini muncul dengan kejelasan yang belum pernah kutemui. Jika benar ini kamu—teka-teki yang kususun dalam diam, harapan yang kucari dalam lorong-lorong sepi—biarlah waktu menyelesaikan sisanya. Aku hanya mampu berserah, meski perjalanan ini penuh tanda tanya, meski langkah ini berat oleh bayangan dirimu yang pernah hilang.

Tetapi, pernahkah kamu mendengar aroma bangkai masa lalu? Itulah yang kurasakan sekarang—sebuah bau yang menusuk, melingkupi setiap sudut ingatan. Kenangan itu seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh, mengendap, membusuk perlahan, tetapi tak pernah benar-benar mati. Masa lalu adalah hantu yang terus membisikkan nama-nama yang seharusnya sudah kulepaskan.

Dan setelah kepergianmu, kepalaku berubah menjadi medan perang. Pikiran-pikiranku bertarung tanpa henti—antara menerima kenyataan atau terus menggali bayangan dirimu yang dulu. Setiap kenangan adalah peluru, setiap rindu adalah bom yang meledak di hatiku. Aku bertempur, bukan hanya melawan kehilangan, tetapi juga melawan diriku sendiri yang terus berharap di tengah kehancuran.

Kehilanganmu adalah luka yang tak hanya mengiris, tetapi juga menghancurkan. Ia adalah badai yang memorak-porandakan benteng ketenanganku, mengubur semua yang kukira sudah aman dalam diriku. Kini aku berdiri di antara puing-puing—dari kita, dari aku, dari apa yang pernah ada—berusaha merangkai ulang, meski tak tahu apa yang akan kutemukan di akhirnya.

Dan di tengah hiruk-pikuk medan perang di kepalaku, aku kembali berdoa: semoga semua ini tak sia-sia. Semoga ini adalah perjalanan untuk kembali menemukanmu, atau setidaknya menemukan diriku sendiri yang baru. Jika memang harus kulalui badai ini, biarlah ia membawaku pada sebuah kedamaian, entah di sisimu, atau di ruang lain yang tak lagi mengenangmu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fatwa cinta

BENARKAH TAKDIR ITU SUDAH DIGARISKAN? by PantatKiller